Rumah sederhana itu berada di pojok gang. Kendaran bermotor saja sulit parkir di halaman rumah. Orang berpapasan harus saling menunggu. Tetapi di rumah yang hanya berlantai semen telah melahirkan para sarjana.
Saat saya mengunjungi rumah itu pada tahun 2007, hanya terlihat televisi hitam putih, ukuran 14 inc. Jika mengganti gelombang siaran televisi harus menggunakan boster (bentuknya seperti adaptor). Cara memindah gelombang dengan memutar ke kanan atau kiri.
Rumah itu beralamat di Desa Panjunan, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus. Rumahnya tidak jauh dari alun-alun. Jarak rumahnya dari alun-alun ke rumahnya sekitar 200 meter. Pemilik rumah itu hanya tukang cukur rambut. Penghasilannya sangat kecil. Tetapi mempunyai tekad yang kuat menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan tinggi. Pemilik rumah itu bernama pak Marhaban.
Ia mempunyai hobi membeli dan membaca buku, koran dan majalah.Untuk ukuran penghasilan, Pak Marhaban tidak mampu membeli buku-buku baru, tetapi hanya buku bekas di pasar loak. Kadang-kadang tetangga juga memberinya buku dan majalah bekas. Pak Marhaban sangat tekun mengkliping berita-berita. Walaupun pendidikan hanya setingkat aliyah (SMA), ia haus akan ilmu pengetahuan.
Pria berkacamata minus ini juga rajin mencari informasi lembaga yang memberikan majalah gratis. Awalnya ia mengirim surat ke beberapa kedutaan asing meminta buku, majalah secara berlangganan. Ternyata, beberapa kedutaan asing sampai sekarang masih mengirimi buku atau majalah. ”Awalnya saya tidak menyangka, tetapi Alhamdulillah, beberapa kedutaan asing seperti Jepang, Iran, Belanda, Jerman, AS masih kirim majalah atau buku ke saya,” kata Pak Marhaban.
Pak Marhaban, orangnya tanggung jawab dan pantang menyerah. Kalau anak-anaknya membutuhkan dana pendidikan, ia tidak segan-segan mencari penghasilan yang lain, misalnya bekerja di pasar, di bengkel ataupun kerja apa saja yang penting halal.
Jika anak-anaknya membutuhkan buku, ia pun berusaha mencari jalan keluar dengan meminta keringanan biaya buku atau meminta pihak sekolah, anaknya menggunakan buku dari kakak-kakaknya. ”Sekolah sekarang ini, tidak seperti dulu di mana buku saudara atau kakak-kakaknya bisa digunakan.
Saat ini, buku harus baru semua, padahal dari segi isinya hampir sama,” keluh Pak Marhaban. Sambil menunggu pelanggan yang memanfaatkan jasanya, Pak Marhaban membaca majalah dan terlihat koleksi buku-buku yang tertata cukup rapi di ruang kerjanya. Terdengar sayup-sayup berita dari radio tua merek national.
Di tengah himbitan ekonomi, anak-anaknya ia didik untuk prihatin. Semua anak-anaknya mulai ibtidaiyah sudah biasa Puasa Senin/Kamis atau Nabi Daud (satu hari puasa, satu hari tidak). Kata Pak Marhaban, kalau yang masih belum kuat, dibiasakan untuk puasa Senin/Kamis. ”Alhamdulillah, latihan puasa Senin/Kamis menjadikan anak-anaknya terbiasa puasa Nabi Daud,” katanya. Keluarga Pak Marhaban sudah terbiasa sahur bersama untuk puasa Nabi Daud atau Senin/Kamis. ”Sebelum sahur, kami biasa shalat tahajud bersama,” katanya.
Anak tertua Pak Marhabann, Mas Saiful Bahri, saat ini sedang menempuh gelar doktor di Universitas Al Azhar Kairo Mesir. Anak kedua lulusan STAN yang sekarang bekerja sebagai PNS di Kementerian Keuangan. Anak ketiga Pak Marhaban, melanjutkan ke UNS mengambil jurusan FKIP jurusan Matematika. Saat ini jadi dosen di perguruan tinggi swasta di Purwokerto. Anak keempat, berhasil kuliah menyelesaikan di IAIN Walisongo dan sekarang guru PNS di Kudus. Sedangkan yang terakhir sedang menyelesaikan kuliah di Undip jurusan sastra Inggris.
Keberhasilan keluarga Pak Marhaban ini patut ditiru terutama menumbuhkan minat belajar dan rasa solidaritas sesama anggota keluarga.
www.iswandibanna.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar