Tak ada siapa-siapa di beranda depan rumah mertuaku,
kecuali pohon rambutan yang menambah temaram halaman, pohon mangga setinggi
orang dewasa di sebelahnya tak terlalu rimbun, malam ini aku sudah berjanji
bertemu seorang guruku yang akan silaturahim kerumah setelah maghrib, waktu
sudah beranjak pukul 19.30 WIB tapi belum ada tanda-tanda kedatangannya, aku
hafal suara motor bebeknya.
Tepat pukul 19.45 WIB beliau datang agak
tergesa-gesa.
“maaf mas, tadi di rumah ada tamu jadi nggak bisa
tepat waktu” ucapnya pelan.
“nggak apa bi, nunggunya juga belum lama ini” ucapku
merendah.
Kami bicara empat mata malam itu, tentang perjalanan
hidup beliau yang berliku-liku, juga kadang beliau menyisipkan pelajaran
disetiap kisahnya, beliau buatku adalah seorang yang luar biasa.
“Saya lahir dari keluarga sederhana” ucapnya
memulai cerita.
“perjalanan pendidikan saya dimulai dengan sekolah
formal di kampung dan untuk membiayainya,
seusai sekolah maka saya menjadi kuli apa saja, sehingga saya sudah kebal
dengan bermacam-macam penderitaan, dan Alhamdulillah orang tua selalu medukung
saya, mereka selalu mendoakan saya di setiap sholatnya.
“Alhamdulillah saya bisa menyelesaikan pendidikan
SMA dengan nilai lumayan memuaskan tanpa kendala, mungkin ini adalah berkah doa
orang tua, mas” ucapnya tersenyum.
Setelah kami menyeruput teh hangat yang di sajikan
istriku, beliau melanjutkan cerita.
“setelah lulus SMA tantangan saya semakin besar,
saya punya cita-cita agar bisa kuliah dengan apapun caranya”
“Dan inilah alasan kenapa saya selanjutnya pernah menjadi
seorang pekerja bangunan di Jakarta, juga pernah bekerja menjadi kuli apa saja,
sudah biasa, tak lain tujuannya adalah
agar tiap bulan saya bisa menyisihkan uang untuk persiapan kuliah di tahun
depan.”
“berbekal sedikit tabungan tahun depannya saya bisa kuliah di Sekolah Tinggi Dakwah Al
Hikmah Jakarta, selanjutnya saya harus berfikir lebih berat lagi bagaimana saya
harus menghadapi kehidupan berikutnya, saya tak sampai hati jika harus
merepotkan orang tua di kampung”
“Lagi-lagi Alloh mendengar doa orang tua saya, saya
bisa nyambi menjadi marbot di kampus, juga sesekali di minta membantu tugas
seorang dosen yang mungkin trenyuh melihat keadaan saya, saya sering menyeleksi
berkas-berkas mahasiswa yang bertumpuk-tumpuk, dan sebagai upahnya saya bisa
menghidupi keadaan ekonomi beberapa hari”
“Kedekatan dengan dosen inilah ternyata menjadi
jalan saya bertemu dengan istri saya, ketika sedang menyeleksi berkas mahasiswi
baru, mata saya tiba-tiba tertarik pada sosok seorang perempuan kelahiran Makasar,
dan hati saya tiba-tiba berdoa, Ya Alloh andaikan ia menjadi istri saya”
Beliau terdiam sejenak, lalu tersenyum.
“Alloh mengabulkan doa saya, suatu saat dia menjadi
ibu dari anak-anak saya.” Ucapnya tersenyum.
Dan akupun ikut tersenyum, lucu dan menginspirasi.
“Abi ingat kenapa memilihnya?” hatiku ingin
menanyakan itu sebenarnya.
“setelah
menikah saya memboyongnya ke kampung, saya mengajar di sebuah SMA di pinggiran
kampung Kabupaten Tegal, dengan gaji pertama yang jauh dari kata cukup dan
disinilah bayangan tentang istri saya benar-benar kenyataan, dia perempuan kuat
menghadapi keadaan, dia tidak banyak mengeluh, sampai anak kami yang kelima
lahir benar-benar menjadi tantangan lumayan berat untuk saya, “Hari-hari yang
terasa paling berat buat saya dan istri saya adalah ketika anak pertama kami mulai
masuk di bangku kuliah, apa saja kami jual untuk menutupi segala kekurangan,
uang tabungan habis, tapi lagi-lagi Alloh mungkin mengabulkan doa orang tua
saya di setiap sholatnya, saya selalu di beri kemudahan, ketenangan.”
“Setelah
mengabdi selama belasan tahun menjadi guru di sekolah itu, partai mengamanahi
saya untuk di calonkan di ajang pilihan legislatif, tahun 2004 saya maju menjadi
calon anggota legislatif dengan modal seadanya, istri saya adalah tim suksesnya
dengan di bantu para relawan yang semangatnya luar biasa, dan setiap melihat
mereka memperkenalkan nama saya di kampung-kampung maka semangat saya seolah
bangkit, seakan saya di bakar oleh kata-kata mereka.”
“dan Innalillahi wa innailaihi rojiun, Alloh menguji
saya dengan jabatan baru sebagai seorang anggota dewan yang penuh dengan
tudingan-tudingan miring di dalamnya, dan saya berjuang sekuat tenaga untuk
meluruskan itu, dengan pengabdian pada masyarakat dan semua karena doa orang
tua yang tulus, saya menjadi kuat menjalani peran sebagai apapun”
“Tahun 2009, Alloh menguji saya lagi untuk yang
keduakalinya untuk mengabdi sebagai anggota DPRD kabupaten Tegal, saya bahkan kemudian
menduduki jabatan penting Ketua Komisi.”
Kami meyeruput lagi teh hangat yang sudah dingin,
dan ternyata tanpa sadar sudah pukul 22.00 WIB. Beliau terdiam sebagai tanda
menyudahi ceritanya.
“Terimakasih ceritanya ustadz, Insya Alloh bisa
menjadi pelajaran buat keluarga saya kedepannya”
Beliau berpamitan, waktu sudah malam.
“jaga kesehatan antum, ya!” pesannya pelan.
Motor bebeknya melaju dari halaman, kemudian hilang
ditelan tikungan, dan saya baru menyadari ada butiran bening dipipi saya, mata
saya menjadi hangat. Betapa ada pelajaran berharga dari lelaki tua itu yang
lama tak kusadari. Dan lelaki tua itu adalah guru saya yang sederhana Ustadz
Wakhidin BA, Ketua Komisi D DPRD Kabupaten Tegal.
tulisan ini telah di edit seperlunya, ada beberapa isi tulisan yang saya nukil dari tulisan-tulisan beliau di media sosial.